Pembangunan Nasional Indonesia Diserahkan ke Siapa?

Indonesia merupakan salah satu negara yang didefinisikan sebagai third world country. Pendefinisian ini tidak terlepas dari perkembangan negara Indonesia secara historis.

 Pada era perang dingin, Negara Indonesia tidak mengambil sikap politis untuk bergabung pada persekutuan negara-negara di dunia yang tergabung dalam blok-blok ideologis yang sedang berseteru. Hal ini tidak terlepas dari sikap Negara Indonesia yang berpedoman pada politik bebas aktif dalam dunia perpolitikan internasional. 

Bagi Negara Indonesia, terutama pada era demokrasi liberal, Blok Barat yang merupakan first world country adalah manifestasi dari antagonisme imperialis dan kolonialis dunia. Selanjutnya bagi Negara Indonesia, Blok Timur yang merupakan second world country merupakan ancaman bagi “ideologi natural” Bangsa Indonesia. 

Namun perguncangan kepemimpinan politik pada era demokrasi liberal, Bonapartisme rezim demokrasi terpimpin, transisi kekuasaan antar rezim, selalu membuat transformasi kebijakan agar Negara Indonesia bertendensi untuk memihak pada blok-blok tertentu dan meninggalkan politik bebas aktifnya. Bahkan di era kontemporer, terjadi pergeseran makna dari pendiferensiasian negara-negara dunia berdasarkan world country

Pengkategoriasasian negara-negara di dunia berdasarkan firstsecond, atau third world country sudah mengalami pergeseran definisi. Pergeseran definisi dalam pengkategorisasian ini tidak terlepas dari fenomena-fenomena historis yang terjadi pasca perang dingin. Hal ini dimulai ketika Uni Soviet mengalami stagnasi ekonomi sejak Mikhail Gorbachev memegang kendali atas negara itu hingga berujung pada pembubarannya tahun 1992. 

Hal ini berimplikasi pada hancurnya Blok Timur dalam dunia perpolitikan internasional. Keluarnya negara-negara yang memiliki keanggotaan Pakta Warsawa yang merupakan figur utama dari Blok Timur adalah hal yang sangat mempengaruhi  pergeseran pengkategorisasian tersebut. 

Akhirnya pemaknaan first world country  dan third world country juga mengalami pergeseran dimana first world country dimaknai sebagai negara-negara dengan ekonomi maju dan third world country dimaknai sebagai negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. 

Tidak salah apabila kita mengategorisasikan Negara Indonesia sebagai third world country dengan definisi baru ini. Faktor pembangunan Negara Indonesia yang masih belum memiliki visi ilmiah dan jalan terobosan merupakan indikator yang sesuai untuk menempatkan Negara Indonesia dalam kategori negara berkembang . 

Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, Negara Indonesia belum pernah memiliki output pembangunan nasional yang baik. Justru output yang dihasilkan hanyalah permasalahan yang timbul dari rezim ke rezim. Tidak ada perbaikan nyata dalam pembangunan nasional.

Untuk menemukan solusi tepat dalam pembangunan nasional, perlu untuk membaca situasi Negara Indonesia secara historis dengan menggunakan metode dialektis terlebih dahulu. 

Setelah itu, perlu mencari subjek yang selama ini menjadi problematika dalam pembangunan nasional. Setelah menemukan subjeknya, baru kita dapat membuat konklusi dan solusi atas problematika pembangunan nasional dengan menentukan subjek baru yang pantas mengemban tugas pembangunan nasional.

Orde lama sangat lambat dalam membangun Negara Indonesia. Ketidakjelasan arah pembangunan nasional di era kepemimpinan Soekarno membuktikan bahwa tidak ada output nyata dalam pembangunan nasional Negara Indonesia. Marhaenisme menjadi kedok bagi Soekarno untuk menutupi kelemahan kepemimpinan yang ia miliki. Kaum “marhaen” yang merupakan petite bourgeoisie menjadi kekuatan utama dalam ideologi Marhaenisme. 

Padahal dalam literatur sejarah, kaum petite bourgeoisie telah menjadi salah satu kekuatan reaksioner yang sangat besar dalam sejarah. Contohnya Partai Nasional Sosialis Jerman yang berangkat dari amarah kaum petite bourgeoisie terhadap kaum big bourgeoisie. 

Masalah kebencian Partai Nasional Sosialis ini merambat pada fitnah rasial yang begitu penuh dengan kebencian yang amat sangat mendalam terhadap warga Yahudi Eropa. Terlebih lagi, Soekarno menyatukan berbagai elemen masyarakat yang tidak mungkin disatukan dalam sebuah wadah front persatuan nasional Nasakom.

 Jika kita tinjau lebih lanjut, kaum nasionalis merupakan kelompok militeris yang berpedoman pada ideologi borjuis, kaum agamis merupakan kelompok reaksioner yang senantiasa mendambakan kejayaan status quo yang menindas, dan kaum komunis merupakan kelompok revolusioner yang menginginkan terwujudnya masyarakat tanpa kelas. 

Berbagai perspektif ini berdasarkan penilaian kami mengenai pemikiran yang dimiliki oleh mayoritas kelompok tersebut pada saat itu, bukan dalam artian analisis pemikiran menggunakan metode yang radikal.

Beranjak pada rezim Orde Baru, pembangunan nasional berjalan namun dengan diiringi dampak negatif yang sangat besar. Banyak citra positif terhadap Orde Baru yang sampai saat ini terbenak dalam kepala masyarakat Indonesia. 

Dan glorifikasi pada Soeharto seperti pemberian gelar pahlawan untuknya sebagai Bapak Pembangunan sering digencarkan oleh politisi borjuis untuk menaikan pamornya dengan mencitrakan dirinya sebagai penerus “Bapak Pembangunan”. 

Pasti kita tidak asing dengan slogan “Penak jamanku to?” Kalimat ini seolah-olah merupakan bentuk nostalgia masyarakat Indonesia terhadap rezim Orde Baru yang telah berjasa dalam melakukan pembangunan nasional dan menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada saat itu. 

Sebenarnya slogan itu hanyalah sebuah kalimat yang dilebih-lebihkan oleh politisi borjuis Golkar dan tidak mengandung kesimpulan sebenarnya yang menggambarkan kondisi objektif masyarakat Indonesia pada saat itu. 

Tidak ada yang “penak” dalam rezim Orde Baru kecuali hanya ilusi keenakan yang tercipta oleh rekayasa Orde Baru terhadap masyarakat Indonesia. Dibalik “penak” itu, banyak ketidak “penak” an yang timbul dalam masyarakat Indonesia.

Soeharto memang pada saat itu gencar dalam melakukan pembangunan nasional. Gedung-gedung megah terbangun di ibukota Negara Indonesia. Pencapaian pembangunan infrastruktur lebih maju dibanding era Orde Lama. Namun segala pencapaian itu tidak dapat Soeharto raih kecuali dengan hal-hal yang mengerikan. 

Pembangunan nasional sangat terdiferensiasi secara kontras antar daerah, Pulau Jawa menerima pembangunan gedung-gedung yang megah, sedangkan diluar Pulau Jawa dikuras habis-habisan sumberdaya alamnya untuk pembangunan di Pulau Jawa. Tenaga kerja buruh mengalami penindasan serta penghisapan yang parah oleh kelas borjuasi demi berjalannya program pembangunan nasional Orde Baru. 

Ketika buruh ingin melakukan demonstrasi, aktivitas mereka direpresi oleh rezim militer yang berkuasa. Bahkan serikat buruh yang merupakan salah satu wadah berserikat kaum buruh dibatasi kegiatan politiknya. 

Apalagi pembentukan partai yang berbasis massa kaum buruh yang pastinya jelas-jelas dilarang karena akan mengancam eksistensi dari rezim borjuis Orde Baru. Tidak heran bila banyak aktivis kaum tertindas yang menghilang tanpa jejak atau bahkan dibunuh secara sistematis oleh rezim Orde Baru.

Ditinjau dari masalah agraria, jelas-jelas Soeharto mengkhianati semangat reforma agraria. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan nafas segar bagi reforma agraria di Indonesia dikhianati oleh Soeharto dengan cara menerbitkan Undang-Undang Kehutanan. 

Perampasan hak milik atas tanah yang dimiliki oleh kaum tani sering terjadi di era Orde Baru. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan Soeharto yang berorientasi pada stabilitas nasional dan investasi asing demi melayani pemilik modal. 

Ditambah pada saat itu ada program Revolusi Hijau yang ditujukan untuk membawa implikasi ekonomi pada nilai tanah. Masalah yang ditimbulkan dari program Revolusi Hijau jauh lebih banyak daripada benefitnya. 

Petani banyak yang kehilangan pekerjaannya, banyak cukong yang membeli tanah dengan harga yang sangat murah lalu menjualnya dengan harga yang sangat mahal, kerusakan tanah jangka panjang yang disebabkan petani yang diwajibkan membeli pupuk kimia yang bakal merusak tanah dari perusahaan yang ditentukan oleh Soeharto, dan masih banyak lagi.

Untuk melindungi hak milik kelas borjuasi, Orde Baru merasa perlu untuk melucuti demokrasi dan membentuk pemerintahan yang totaliter dibawah kendali militer. 

Demokrasi dilucuti ketika diwajibkannya seluruh partai di Indonesia untuk melakukan fusi partai. Ini jelas menghilangkan tradisi ideologis yang dimiliki oleh semua partai yang ada pada saat itu. Media-media yang menyuarakan hak-hak bagi rakyat tertindas dan yang menampilkan sisi kelam dari rezim Orde Baru dibredel oleh militer. 

Contohnya Majalah Tempo yang mengalami pembredelan oleh Pemerintah Orde Baru setelah menerbitkan pemberitaan terkait dugaan kasus korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur (Tempo.co, 2022). 

Contoh selanjutnya, rakyat yang resah akan ketimpangan ekonomi yang terjadi pada saat itu membentuk gerakan perlawanan dalam bentuk pencerdasan publik atau gerakan perlawanan rakyat dari bawah. Namun akhirnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat ini diberangus hingga ke akar-akarnya oleh Orde Baru. 

Aktivis-aktivis pro-demokrasi menjadi sasaran utama kriminalisasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Salah satu contoh paling nyata adalah kasus pembunuhan Munir yang tewas karena diracuni ketika ingin pergi ke Belanda. 

Belum lagi misteri Wiji Thukul yang sampai saat ini belum terselesaikan. Ini hanya sedikit dari banyak contoh bahwa Orde Baru tidak ingin adanya aktivis yang menyadarkan masyarakat akan ketertindasan yang mereka alami.

Kepentingan mempertahankan hak milik kelas borjuasi yang dilakukan Orde Baru berpengaruh pada suprastruktur-suprastruktur lainnya seperti halnya kebijakan politik, pendidikan, moral, agama, budaya, dll. Kebijakan politik yang tercipta ditujukan untuk melucuti demokrasi. Pendidikan pada Orde Baru ditujukan demi terciptanya kepatuhan masyarakat pada sistem yang menindas. 

Moral dan agama diajarkan setiap kali pada acara peribadatan oleh para pemuka agama untuk menundukan perlawanan masyarakat. Budaya yang tercipta bermotif westernisasi yang melucuti budaya nasional Bangsa Indonesia untuk mendukung program investasi asing.

Setelah Orde Baru runtuh, entitas-entitas yang terdapat pada masa Orde Baru tidak hilang begitu saja. Banyak warisan buruk yang ditinggalkan oleh Orde Baru yang masih ada hingga sekarang. 

Pembangunan nasional yang berorientasi untuk mengembangkan investasi asing masih dipertahankan rezim berganti rezim pasca Orde Baru runtuh. Investasi asing didorong untuk masuk Indonesia oleh rezim berkuasa dengan dalih untuk meluaskan lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia. 

Namun hal ini juga mengandung dilema didalamnya. Investor asing banyak yang tidak mau mengembangkan industri manufakturnya di Negara Indonesia karena rendahnya tenaga produktif. Kaum buruh di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang unggul dalam menghasilkan komoditas sebagaimana kaum buruh di Amerika Serikat. 

Maka dari itu, tidak heran ketika pemerintah menerbitkan produk hukum berupa Omnibus Law yang berisi pasal-pasal yang menguntungkan para investor sekaligus menindas kaum buruh.

Permasalahan lainnya juga perlu menjadi sorotan. Demokrasi makin dilucuti dengan hadirnya RKUHP. Rakyat makin sengsara diakibatkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Konflik agraria yang tak kunjung usai disebabkan tidak segera dilaksanakan program reforma agraria. 

Pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak kunjung ditemukan pelakunya, bahkan rezim melakukan pelanggaran HAM berat lagi pada 2022 di Kanjuruhan. Pada Maret 2022, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,384 (BPS, 2022).

Ada satu kesamaan antara Orde Lama, Orde Baru, hingga Pasca-Reformasi yaitu pemegang kendali atas pembangunan nasional adalah kaum borjuis nasional. Bedanya sejauh mana progresifitas dari kaum borjuis nasional pemegang kekuasaan. Di era Orde Lama, Soekarno merupakan sosok Bonapartis merupakan perwakian dari kaum borjuis marhaen. 

Pada Orde Baru, Soeharto adalah figur borjuis militeristik yang merupakan bagian dari kekuatan reaksioner terbesar sepanjang sejarah Negara Indonesia sejak didirikannya. 

Pasca Reformasi, tidak ada perubahan pada orang-orang yang mengisi kursi kekuasaan. Bilamana ada perubahan, perubahan itu hanya terjadi pada orang-orangnya, tapi tidak untuk perubahan kelas pengendali kekuasaan. 

Tidak bisa dipungkiri, sejak dulu logika profit dominan dalam hati rezim untuk melakukan pembangunan nasional. Kesejahteraan masyarakat luas bukanlah tujuan utama dari pembangunan nasional. Gedung-gedung megah dibangun hanya untuk melayani “malaikat-malaikat” modal yang berjasa karena telah menyokong dana untuk mempertahankan berdirinya rezim.

Padahal jika kita melihat kondisi kaum borjuis nasional first world country selaku subjek atas pembangunan nasional, watak mereka akan berbeda dari kaum borjuis nasional third world country

Kaum borjuis nasional first world country memiliki watak yang mandiri, progresif, dan demokratis. Sedangkan kaum borjuis nasional third world country tidak memiliki ketiga watak tersebut. Ini juga disebabkan oleh faktor historis kaum borjuis di masing-masing negara. Di Perancis, kaum borjuis nasional mempelopori revolusi demokratik borjuis pertama kalinya. 

Dengan semangat habis membabat modus produksi feodal, segala kekuatan kontra-revolusi dilucuti tanpa ampun, bahkan kekuatan utama figur feodal di Perancis, Louis XVI, berhasil dihukum mati oleh kaum borjuis nasional. 

Sedangkan di Indonesia, kaum borjuis nasional terlambat dalam menaiki panggung sejarah. Mereka lahir tidak secara mandiri dan menghancurkan modus produksi feodal dengan tangan mereka sendiri. Proses kelahiran mereka melalui ekspor kapital asing. Bahkan kaum borjuis Negara Indonesia hidup rukun bersampingan dengan kaum feodal.

Permasalahan dan hambatan yang muncul dalam pembangunan nasional di Negara Indonesia bermula dari ketidakjelasan arah kepemimpinan Soekarno dalam pembangunan nasional di era Orde Lama. Ini sebenarnya sebuah problematika setelah kemerdekaan, kaum borjuis dominan dalam mempengaruhi segala suprastruktur Negara Indonesia terutama dari segi perpolitikan yang pada akhirnya mengakibatkan munculnya permasalahan dan hambatan terhadap pembangunan nasional. 

Permasalahan dan hambatan itu terjadi hingga saat ini. Terdapat beberapa bentuk permasalahan yang terjadi yakni belum tuntasnya reforma agraria, ketimpangan ekonomi, dan belum terwujudnya pemerintahan yang demokratis. Hal ini disebabkan kaum borjuis nasional third world country sebagaimana Indonesia tidak memiliki sikap mandiri, progresif, dan demokratis. 

Kesimpulan akhir yang dapat kita ambil adalah bahwa subjek yang memegang kendali atas pembangunan nasional sejak awal kemerdekaan hingga saat ini adalah kaum borjuis nasional.

Hingga saat ini, demokrasi yang ada hanya diperuntukan untuk kelompok minoritas. Kelompok minoritas yang dimaksut bukanlah minoritas agama, ras, suku, dll. Tapi minoritas kelas penghisap dan penindas yang menguasai negara. Hanya kaum borjuis yang dapat menikmati demokrasi. 

Masyarakat luas dari buruh, tani, kaum marjinal, dan kaum tertindas lainnya tidak dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Ongkos politik yang mahal mengakibatkan keterpilihan seorang pemimpin bukan karena kecakapan yang ia miliki, tapi karena kapital yang ia miliki.

Maka dari itu perlu adanya penyelesaian dari masalah dan hambatan yang terjadi selama ini. Solusi bagi penyelesaian masalah yang terjadi yaitu dengan memperluas demokrasi dalam Negara Indonesia. 

Demokrasi selama ini hanya diperuntukkan untuk kelompok minoritas kaum borjuis. Demokrasi perlu diperluas menjadi demokrasi yang di peruntukan bagi mayoritas masyarakat yang tertindas seperti buruh, tani, nelayan, dan masyarakat marjinal lainnya. 

Dengan meluasnya demokrasi, maka seluruh masyarakat tertindas akan mudah mengakses demokrasi sehingga segala kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah tidak lagi berorientasi pada keuntungan segelintir masyarakat saja. 

Akan tetapi, segala output dari kebijakan pemerintah akan memberikan keuntungan yang merata bagi masyarakat luas. Sehingga pembangunan nasional akan berorientasi pada kemajuan dan kesejahteraan. Perluasan demokrasi juga merupakan pergantian subjek pengendali atas negara.

Perluasan demokrasi tidak dapat dilakukan dengan mempertahankan status quo saat ini. Transisi demokrasi minoritas menuju demokrasi mayoritas tidak bisa ditempuh dengan jalan damai. 

Perlu untuk melakukan perombakan sistem secara besar-besaran dari kekuasaan minoritas penindas ke tangan mayoritas tertindas demi memperluas demokrasi. Karena sejatinya minoritas penindas yang berkuasa tidak ingin menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Perlu “perampokan” kekuasaan kaum penindas dari masyarakat tertindas.

“Perampokan” kekuasaan tidak bisa berhasil apabila masyarakat tertindas dari berbagai elemen melakukan perlawan sendiri-sendiri. Aksi spontan dan pemberontakan kedaerahan tidak efektif dalam memperluas demokrasi karena akan mudah bagi milisi yang dimiliki oleh minoritas berkuasa untuk memberangus gerakan perlawanan rakyat. 

Sejatinya mereka merupakan organisasi yang kuat dan terunifikasi antar daerah. Maka dari itu, perlu satu organisasi massa yang besar yang dapat menaungi berbagai elemen dari masyarakat tertindas. 

Organisasi ini merupakan organisasi yang tersentral dan demokratis, atau menganut sistem sentralisme demokrasi. Dengan organisasi besar ini, maka gerakan perlawanan rakyat untuk merebut kendali atas kekuasaan akan berjalan dengan mudah. 

Sehingga pembentukan satu organisasi massa merupakan metode efektif untuk memperluas demokrasi hingga pada akhirnya akan terwujud pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemajuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *