Sesat Pikir Soal Kemerdekaan Palestina
Banyak orang Indonesia yang menunjukan simpati besarnya pada rakyat Palestina yang selama ini dijajah oleh Negara Israel. Sekilas jika kita lihat di permukaan, hal ini baik karena memang seharusnya kita mendukung kemerdekaan bagi Palestina. Namun kita akan menemui kedangkalan berfikir maupun kelemahan argumen kebanyakan orang Indonesia ketika kita tahu apa motif yang mendasari kebanyakan orang Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina. Entah dari kaum nasionalis, liberal, dan agamis pasti akan didapati sama saja. Ketika mereka memberitahu motif mereka mendukung kemerdekaan Palestina pasti hanya akan berputar-putar pada jawaban yang umum yang sangat sering kita dengar dan tidak memberikan analisa yang mendalam. Hahahahahaha.
Jawaban kaum nasionalis pada umumnya pasti hanya berputar-putar pada jawaban konstitusional seperti “kemerdekaan ialah hak segala bangsa” atau jawaban yang mereka ambil tidak jauh dari pelajaran maupun pedoman dari pengalaman historis sempit Bangsa Indonesia seperti halnya mencontoh mantan presiden Indonesia yang selalu mendukung kemerdekaan Palestina atau berpedoman pada politik bebas aktif. Motif yang baik. Tapi jawaban yang mereka buat tak akan konsisten jika disandingkan dengan kasus lain, misal masalah kebangsaan West Papua. Jika mereka mendukung kemerdekaan Palestina tapi tak mendukung kemerdekaan West Papua, maka mereka sendiri telah melanggar jawaban konstitusional yang mereka gelorakan.
Sedangkan kaum liberal kebanyakan tak jauh berbeda dengan argumen nasionalis tetapi biasanya dititikberatkan pada bagian HAM untuk masalah Palestina. Masalahnya, jika kita menitikberatkan masalah Palestina pada HAM, pasti ujung-ujungnya Palestina tak kunjung merdeka. Dari pihak Palestina pun juga melakukan pelanggaran HAM. Tak adil bila kita menjustifikasi Israel melakukan pelanggaran HAM bilamana kita tak mengecam tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Palestina. Lagipula perang tidak bisa dihapuskan dengan slogan-slogan moral. Perang hanya bisa dihapuskan lewat perang.
Kaum agamawan juga, terutama Agama Islam (dengan segala hormat, saya tak bermaksut untuk merendahkan umat muslim), selalu berputar-putar pada slogan persaudaraan untuk sesama muslim. Bahkan anehnya dari beberapa kaum agamawan menggelorakan kemerdekaan untuk Palestina karena ini adalah perjuangan umat muslim melawan “Kafir Yahudi”. Hal ini sangat tidak rasional dan tidak solutif bagi masalah Palestina. Kita tahu bahwa Palestina memiliki penduduk yang heterogen. Penduduk Palestina tidak hanya dari Agama Islam, tapi banyak agama. Kristen, Katholik, Yahudi, Majusi, dan masih banyak lagi. Lagipula komunitas Yahudi Ortodoks Israel sering didiskriminasi oleh otoritas Israel. Jadi konflik antara Palestina dan Israel bukanlah konflik agama. Maka jika kita memiliki motif melawan “Kafir Yahudi” untuk mendukung kemerdekaan Palestina justru tidak akan menyelesaikan konflik di Transyordania Barat itu. Sebaliknya, justru sauvinisme lah yang semakin subur. Konflik akan semakin bermunculan antar umat beragama karena dari masing-masing umat beragama semakin teragitasi untuk melawan musuh mereka dari umat beragama diluar keyakinan mereka.
Bahkan dikalangan kaum kiri pun, mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai Marxis, salah kaprah dalam menilai masalah kemerdekaan Palestina. Gagasan borjuis dan borjuis kecil sudah merasuki pada sekte-sekte “Marxis” ini. Mereka tak mengedepankan internasionalisme dalam pembebasan Palestina, justru mereka teracuni oleh nasionalisme (yang jelas harus kaum Marxis tentang). Kita contohkan pada beberapa “Marxis” ini yang menyatakan dukungannya pada PLFP (Popular Front for the Liberation of Palestine atau Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina). George Habbash selaku pimpinan PLFP tak sama sekali mencerminkan dirinya seorang Marxis, ia melakukan perjuangannya tak jauh beda dengan organ-organ borjuis kecil lainnya di Palestina. Atau yang terparah adalah dukungan mereka pada Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya atau Gerakan Perlawanan Islam) yang merupakan organ reaksioner.
Yang saya sayangkan pada mereka bukan hanya terletak pada motifnya, tapi juga terletak pada analisanya. Mereka tak memiliki analisa yang kompreherensif mengenai masalah Palestina. Ketika analisa sudah salah, maka sudah pasti metode perjuangan untuk pembebasan rakyat Palestina yang mereka ambil pasti buruk. Akhirnya bukannya membuahkan hasil bagi kemerdekaan sepenuhnya untuk rakyat Palestina, justru menghasilkan sesuatu yang kacau untuk pembebasan rakyat Palestina. Akhirnya pasti mereka akan mendukung pihak yang salah. Pasti mereka tidak akan jauh mendukung organ-organ borjuis kecil dalam pembebasan Palestina.
Selain itu, solusi-solusi lainnya juga sudah ditawarkan. Dari solusi satu negara, dua negara, atau tiga negara. Bahkan jika mau dibuat solusi empat negara atau sepuluh negara, tetap saja solusi ini tak akan menjawab masalah Palestina. Justru konflik yang dihasilkan akan bisa lebih besar karena solusi-solusi ini hanya menggunakan kacamata sempit nasionalisme, dan nasiolisme tak akan bisa sama sekali menjawab masalah kebangsaan.
Disini saya akan memberikan analisa yang singkat namun tak mengurangi substansi dari perspektif yang saya gunakan mengenai masalah Palestina. Saya seorang Marxis, maka segala metode yang saya gunakan dalam menganalisa segala hal adalah dengan perspektif dialektika materialis, termasuk masalah Palestina. Saya pikir sangat perlu untuk kembali membantah argumen dangkal dari banyak kaum di Indonesia yang salah dalam menganalisa masalah Palestina. Karena jika argumen mereka dibiarkan dan tersebarluas di telinga masyarakat, maka ini akan berimplikasi pada kesalah fatalan perjuangan pembebasan Palestina.
Masalah Palestina bukanlah masalah yang sederhana, ia sangat kompleks. Kita tak bisa memberikan jawaban “ya” atau “tidak” mengenai kemerdekaan Palestina. Maksutnya kita tak bisa memberikan jawaban “ya, Palestina harus merdeka” atau “tidak, Palestina tidak harus merdeka” dengan menggunakan perspektif yang dangkal. Masalah Palestina adalah masalah yang rumit, ini adalah masalah kebangsaan yang tidak bisa dinilai dengan kacamata hitam-putih.
Sebelum membahas soal kemerdekaan Palestina, kita perlu tahu definisi dari kemerdekaan terlebih dahulu. Sejatinya kemerdekaan adalah suatu capaian oleh suatu masyarakat yang telah terbebas dari belenggu perbudakan, perhambaan, penjajahan, maupun penindasan. Saya tekankan bahwa kemerdekaan dan kapitalisme adalah dua hal yang saling bertentangan. Tidak ada kemerdekaan dibawah kapitalisme. Dalam kapitalisme, kemerdekaan hanyalah omong kosong karena kapitalisme tidak menyediakan kebebasan manusia dari belenggu. Kita semua tahu bahwa sudah banyak bangsa yang telah mendapatkan kemerdekaannya, tapi itu hanya secara formal. Kemerdekaan dalam kapitalisme hanya bisa dimiliki oleh kelas berkuasa, tapi tidak untuk kelas yang dikuasai atau kelas yang tertindas. Kemerdekaan sejati akan tercapai bila kapitalisme ditumbangkan, yakni ketika masyarakat terbebas sepenuhnya dari penindasan.
Secara historis, beberapa wilayah di Transyordania Barat adalah wilayah milik Bangsa Arab, setidaknya semenjak Bangsa Israel meninggalkannya setelah mereka diusir dari sana oleh Ramses II pada abad 11 sebelum masehi. Setelah berabad-abad wilayah itu dihuni oleh Bangsa Arab, Bangsa Israel mulai pulang “kembali ke tanahnya” setelah imigrasi massal yang difasilitasi oleh Inggris yang secara masif dimulai pada tahun 1920an. Puncaknya pada perang dunia kedua ketika nazisme dan fasisme berkuasa di Eropa yang telah mengakibatkan terbunuhnya jutaan orang Yahudi ketika Tragedi Holocaust. Inggris memiliki mandat untuk menjadi “panitia” dalam menyelenggarakan imigrasi massal orang-orang Yahudi yang tinggal di Eropa karena pada saat itu Inggris yang dikepalai oleh Elizabeth II telah menaklukan hampir seluruh Jazirah Arab yang sebelumnya wilayah Transyordania Barat adalah wilayah milik otoritas Kerajaan Ottoman.
Lama-kelamaan, “pendatang” Yahudi dari Eropa mulai banyak, sehingga menimbulkan keresahan dikalangan mayoritas “pribumi” Arab. Keresahan ini tak timbul secara alamiah, maksutnya keresahan ini tidak timbul karena “pribumi” Arab dengan alami menganggap dirinya-lah yang berhak atas tanah Arab dan bangsa lain tak berhak. Keresahan ini timbul karena otoritas yang menduduki Transyordania Barat (Kerajaan Inggris) pada saat itu adalah otoritas yang reaksioner. Kerajaan Inggris tak bisa menyatukan Bangsa Yahudi dengan Bangsa Arab. Justru yang Kerajaan Inggris lakukan adalah menjadikan warga “pendatang” Yahudi sebagai warga negara yang diberi previlese besar, sedangkan warga “pribumi” Arab dijadikan warga negara nomor dua. Previlese yang besar diberikan pada Warga Yahudi karena mereka lebih menjanjikan bagi borjuasi Inggris dalam meraup profit karena kebanyakan pengusaha berasal dari Bangsa Yahudi ketimbang Bangsa Arab. Akhirnya hal ini menjadi bibit-bibit konflik rasial yang kedepannya akan semakin meruncing. Dan hal ini juga yang memantik judeophobia di kalangan Bangsa Arab. Memang, kapitalisme tidak akan bisa berdiri tanpa rasisme.
Selain itu, dari kalangan borjuis besar Yahudi juga timbul gagasan Zionisme. Gagasan ini merupakan gagasan nasionalisme borjuis Bangsa Yahudi Eropa dulu dengan tujuan mendirikan negara khusus bagi Bangsa Yahudi. Zionisme telah menjadikan terbentuknya Negara Israel pada tahun 1948, negara khusus orang-orang Yahudi. Dalam hal ini jelas bahwa kita harus menentang Zionisme karena sangat jelas bahwa Zionisme adalah gagasan nasionalisme yang merupakan gagasan borjuasi. Negara Israel berulangkali melakukan tindakan teror terhadap rakyat Palestina. Berbagai tindakan kejahatan imperialisme dan kebijakan diskriminatif dilakukan demi merebut kembali “tanah yang dijanjikan”.
Sudah lebih dari 50 tahun konflik ini berlalu, maka dari itu perlu untuk mengambil pelajaran berharga dari berbagai dinamika dalam konflik ini. Berbagai perlawanan untuk membebaskan Palestina dari imperialisme Yahudi telah diusahakan, namun tak satupun yang membuahkan hasil yang gemilang. Sudah bertahun-tahun konflik ini tak kunjung usai. Justru yang ada hanyalah konflik antar Palestina dan Israel yang makin meruncing. Dari jawaban kaum nasionalis, liberal, agamis, bahkan sekte Marxis bodong tak memberikan buah atas kemerdekaan Palestina.
Salah satu kesalahan terbesar pada perjuangan kemerdekaan Palestina terletak pada otoritas Palestina itu sendiri. Para pemimpin nasionalis borjuis kecil PLO (Palestina Liberation Organization atau Organisasi Pembebasan Palestina) mengambil kesalahan fatal dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Mereka melakukan tindakan perjuangan bersenjata melawan Israel. Mereka percaya dengan melakukan hal itu, Palestina akan mencapai kemerdekaannya. Kenyataannya perjuangan bersenjata yang mereka lakukan adalah berbentuk terorisme individual, pemboman, penjarahan, pembajakan pesawat, dsb. Hal ini sama sekali tak melemahkan Israel, justru semakin menguatkan mereka. Perjuangan bersenjata melawan Israel akan berimplikasi pada semakin yakinnya Rakyat Israel bahwa mereka akan diusir dari “tanahnya” lagi seperti Ramses II mengusir mereka. Akhirnya dukungan Rakyat Israel terhadap otoritasnya untuk melawan “para teroris Palestina” makin menguat. Padahal jika Rakyat Israel tak mendukung otoritasnya, maka perjuangan pembebasan bagi Palestina akan semakin mudah.
Rakyat Palestina telah membuktikan berulangkali kapasitas revolusioner mereka. Hal ini terbukti ketika terjadinya Peristiwa Intifada pertama pada 1987. Intifada dalam bahasa arab artinya aksi pemberontakan. Pada saat itu, kaum muda Palestina meluncurkan aksi massa untuk menentang penjajahan Israel. Sayangnya Arafat selaku pimpinan PLO hanya diam pada saat itu dan tidak memainkan kepemimpinan untuk membimbing massa untuk mencapai kemenangannya. Akhirnya aksi massa ini dengan mudah ditumpas oleh militer Israel karena militer Israel memiliki senjata lengkap sedangkan massa hanya bersenjatakan batu dan kayu. Tapi uniknya, aksi massa ini membuahkan hasil yang memajukan perjuangan Rakyat Palestina jauh daripada apa yang telah dilakukan oleh Arafat selama bertahun-tahun.
Intifada membuahkan hasil berupa konsesi-konsesi yang ditawarkan oleh Israel. Israel memberikan konsesi-konsesi ini karena ia mendapat tekanan dari dunia atas tindakan kejinya terhadap rakyat Palestina. Jadi Arafat sama sekali tak memainkan peran dalam memperjuangkan konsesi-konsesi ini. Disisi lain, konsesi-konsesi ini juga buah dari dinamika politik global yang baru. Sejak runtuhnya Uni Soviet, AS mendominasi seluruh dunia, artinya AS tak perlu bergantung pada Israel di Timur Tengah. AS memiliki kepentingan di Timur Tengah yang mengharuskan ia menjalin diplomasi dengan rejim-rejim di Timur Tengah seperti Arab Saudi. Maka, AS perlu menekan Israel untuk berdiplomasi kepada Palestina agar kestabilan di Timur Tengah terjaga. Israel menerima konsesi bahwa harus mengakui PLO sebagai otoritas sah Palestina. Dan Arafat sangat senang dengan hal ini, ia menerima kedudukan istimewa sebagai pemegang otoritas sah Palestina. Padahal ia tak berkontribusi dalam memajukan perjuangan Rakyat Palestina dan kebijakannya sangat menutup pintu bagi kemerdekaan Palestina. Apa yang Arafat terima adalah buah dari pengkhianatan dia terhadap perjuangan Rakyat Palestina.
Tapi tak selalu anjing patuh pada majikannya, begitupula Israel dan AS. AS tak bisa mempertahankan konsesi ini karena kelas berkuasa Israel pasti punya kepentingannya sendiri. Israel tak bisa dengan begitu mudah memberikan harga dirinya kepada AS. Makanya konsesi ini berada pada sebuah kesulitan yang tak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Justru yang dilakukan Israel adalah melakukan ekspansi ke wilayah Tepi Barat maupun Gaza untuk membangun pemukiman eksklusif bagi warganya. Hingga pada akhirnya usaha untuk meredakan konflik antara Palestina dan Israel menemui jalan buntu.
Lalu bagaimana solusi atas permasalahan Palestina? Sebagai kaum Marxis, saya menekankan bahwa untuk memandang permasalahan kebangsaan perlu berorientasi pada revolusi sosialis dan internasionalisme. Kapitalisme telah menemui jalan buntu dan tidak ada kemerdekaan dibawah kapitalisme, maka sosialisme adalah kunci untuk meraih kemerdekaan. Dan mengapa internasionalisme dan bukan nasionalisme? Karena nasionalisme hanya akan meningkatkan antagonisme nasional yang berarti semakin memperparah konflik. Internasionalisme adalah gagasan penyatuan kaum tertindas seluruh dunia, terutama kaum proletar, tanpa dibatasi oleh sekat nasion. Internasionalisme mendukung kemerdekaan (tentunya dengan menimbang secara rinci mengenai masalah kebangsaan). Kemerdekaan berdasarkan internasionalisme tak ditujukan untuk membuat garis perbatasan baru, tapi untuk menghapuskan garis perbatasan.
Kita tahu bahwa kaum proletar di seluruh negara pasti tertindas. Kaum proletar Israel dan Palestina, sama-sama tertindas oleh hubungan produksi saat ini. Artinya tak hanya rakyat Palestina yang belum merdeka, tapi rakyat Israel juga belum merdeka. Musuh dihadapan mereka adalah sama yakni kaum bankir Israel dan borjuasi Israel. Perpecahan persaudaraan kaum proletar antar bangsa pasti disebabkan oleh nasionalisme borjuis. Maka dari itu, kaum proletar harus menolak nasionalisme. Kaum proletar Israel menolak nasionalisme Israel dan kaum proletar Palestina menolak nasionalisme Palestina. Saya tekankan bahwa untuk mencapai kemerdekaan sejati bagi rakyat Palestina, kita harus menyadarkan kepada kaum proletar dan kaum tertindas lainnya, entah di Israel maupun Palestina, bahwa mereka adalah saudara. Mereka harus melawan kelas penindas yakni kaum bankir Israel dan borjuasi Israel. Cara ini sudah menjawab langkah awal dari bagaimana memerdekakan Palestina.
Selanjutnya untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina, kita tak bisa mengandalkan aksi massa saja. Perlu yang namanya kepeloporan revolusioner untuk mewujudkannya. Kepeloporan ini berupa sebuah organisasi revolusioner yang dapat memimpin dan menyatukan perjuangan rakyat Palestina dan Israel untuk melawan kaum bankir Israel dan borjuasi Israel yang selama ini menjadi biangkerok dari masalah di tanah Transyordania Barat itu. Tentu saja kepeloporan ini tak boleh dipegang oleh pelopor yang salah. Kepeloporan ini bukan untuk dipegang oleh kaum borjuis maupun borjuis kecil yang sudah melakukan pengkhianatan besar terhadap rakyat Palestina dan meneror rakyat Israel. Kepeloporan ini harus diserahkan kepada organisasi yang menganut teori ilmiah yang paling maju untuk emansipasi kaum tertindas di seluruh dunia, yakni organisasi sosialis yang revolusioner.