Akar Permasalahan Konflik Israel Palestina

Beberapa hari lalu, tepatnya pada Sabtu, 7 Oktober 2023, Hamas melakukan serangan secara mendadak terhadap Israel. Badan intelejen dan militer Israel merasa terkejut mendapati serangan ini. Keterkejutan yang dialami oleh pihak Israel ini disebabkan oleh kondisi dimana Israel selama beberapa bulan hidup dengan ketenangan tanpa serangan secara tak terduga dari pihak Palestina. Disisi lain, untuk beberapa waktu lamanya, Hamas telah vakum dalam perlawanannya secara masif terhadap Israel. Namun, tidaklah mengejutkan bagi kaum Marxis ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang besar dan tiba-tiba seperti ini, karena mereka selalu menganalisa dunia dengan senjata materialisme dialektis. Serangan ini adalah buah dari kulminasi amarah rakyat Palestina yang terpendam selama bertahun-tahun akibat kebijakan dan tindakan yang dikeluarkan oleh Netanyahu, seseorang yang memimpin otoritas sayap kanan yang paling reaksioner sepanjang sejarah negara Israel.

Tindakan reaktif yang dilakukan oleh Israel adalah dengan cara melakukan serangan balik terhadap rakyat Palestina secara brutal. Serangan balik ini menimbulkan tumpukan korban yang berguguran dari rakyat Palestina. Ketika saya sedang menulis artikel ini, terdapat 2000 orang meninggal dan 4000 orang luka-luka. Hari demi hari, kedepannya, korban akan makin bertambah seiring dengan serangan-serangan lanjutan yang dilancarkan oleh Israel. Pengepungan total atas Gaza dideklarasikan oleh Israel dan Netanyahu menyatakan bahwa “kita sedang berperang!” Saat ini, Gaza diblokade sepanjang garis teritori yang mengelilinginya dan pasokan listrik menuju Jalur Gaza diputus oleh Israel. Selain itu, Israel merusak infrastruktur penting dan layanan kesehatan yang selama ini sudah rapuh. Hal ini menimbulkan konsekuensi serius bagi 2,1 juta penduduk Palestina yang tinggal di Gaza.

Ada dua tantangan yang saat ini dihadapi oleh rakyat Palestina saat ini. Pertama, di hadapan mata mereka terdapat negara Israel yang sangat amat kuat dibekali dengan batalion tentara yang terlatih dan teknologi persenjataan yang canggih. Di balik itu, terdapat monster imperialis raksasa yang terus memainkan peran yang sangat-amat krusial atas konflik Israel-Palestina, yaitu Amerika Serikat. Kedua, rakyat Palestina mengalami hal yang sebaliknya. Jutaan rakyat Palestina yang tertindas adalah orang-orang yang dalam posisi jauh lebih lemah daripada Israel. Rakyat Palestina telah dipermalukan selama beberapa dekade tanpa mendapatkan hak-hak fundamental untuk berbangsa. Dari dulu hingga saat ini, rakyat Palestina terus berjuang untuk merebut tanah airnya sendiri, bahkan untuk sekedar berjuang atas tanah yang tersisa selama 75 tahun yang lalu.

Sepanjang menduduki sebagian wilayah di tanah Transyordania Barat (wilayah yang mencakup Israel dan Palestina), Israel telah melakukan pembersihan etnis dengan sangat sistematis terhadap bangsa Arab di Palestina. Skenario yang terjadi saat ini telah dipersiapkan oleh kayanya pengalaman rakyat Palestina diusir secara brutal dari tanah air mereka yang bersejarah selama lebih dari 75 tahun. Pada tahun 1949, sekitar 700.000 orang Arab Palestina telah melarikan diri atau diusir dari tanah dan desa mereka. Ditambah terdapat mimpi buruk rakyat Palestina akibat pendudukan wilayah Tepi Barat dan Gaza sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Israel kini menguasai sekitar 20,5 juta dunam (sekitar 20.500 km²) atau 78% tanah yang dulunya merupakan teritori Palestina. Sebesar 8% (sekitar 1.650 km²) dikuasai secara pribadi oleh orang Yahudi, 6% (sekitar 1.300 km²) oleh orang-orang Arab, dan 86% sisanya merupakan tanah publik otoritas Israel.

Hal ini makin diperparah dengan situasi yang terjadi pada periode terbaru ini. Netanyahu yang saat ini memimpin pemerintahan sayap kanan Israel yang sangat reaksioner sedang membangun blok dengan supremasi Yahudi yang paling reaksioner atas bangsa lain di Timur Tengah. Netanyahu mengandalkan ratusan ribu pemukim Yahudi sebagai pasukan kejutan bagi rakyat Palestina. Transisi menuju rezim reaksioner dalam pemerintahan Israel menjadikan situasi disana makin tidak baik. Sebelum masa transisi, pemerintahan Zionis “Liberal” telah mempromosikan dan mengekspansi pemukiman Yahudi. Pemerintah turut juga dalam mendukung dan mendorong para pemukim Yahudi untuk memaksa masuk dan merampas tanah rakyat Palestina di wilayah Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Yerusalem Timur.

Tindakan perampasan tanah ini memiliki dasar hukum yang kuat. Seluruh sistem peradilan negeri Zionis ini dirancang untuk mendukung tindakan perampasan tanah. Undang-undang pertanahan disahkan untuk melegalkan perubahan kepemilikan tanah. Kurang lebih, terdapat tiga undang-undang yang melegalkan perampasan tanah yaitu antara lain Undang-undang Dasar: Tanah Israel, Undang-undang Tanah Israel, dan Undang-undang Administrasi Pertanahan Israel yang semuanya diterbitkan di tahun 1960. Di sisi lain, terdapat Perjanjian antara Negara Israel dan World Zionist Organization yang memberikan proporsi sebesar 13% tanah secara de jure kepada Jewish National Fund di tahun yang sama juga (1960).

Otoritas Israel berulangkali mempromosikan kampanye teror sistematis yang melibatkan serangan kekerasan yang dilakukan oleh pemukim bersenjata terhadap warga Palestina. Hal ini bertujuan untuk memprovokasi rakyat yang hidup di sana. Sebagai akibatnya, datanglah angkatan bersenjata Israel untuk mengintervensi konflik ini sembari menciptakan situasi untuk Nakhba baru, yaitu peristiwa aneksasi terhadap wilayah pendudukan dan penggusuran warga Palestina dari tanahnya dan rumahnya. Semua ini menyebabkan konflik yang terjadi hari ini tidak dapat dihindari.

Kebenaran dan Perang

Kebenaran akan senantiasa menjadi korban pertama dari perang. Bila Anda tidak hati-hati dalam membaca media massa, media akan semakin membuat Anda membenci orang-orang yang tertindas dan mencintai orang-orang yang melakukan penindasan. Media massa memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk pandangan dan pemahaman kita tentang dunia. Ada risiko besar bahwa media bisa mengambil sudut pandang berdasarkan kepentingan kelompok tertentu, terutama dalam konteks perang atau konflik. Media massa liberal arus utama, akan selalu mengabarkan suatu peristiwa dengan sudut pandang yang sama sekali tidak objektif. Media-media seperti ini dapat menjadi alat untuk menyebarkan narasi yang mendukung salah satu pihak sementara merendahkan yang lain. Selama ini, media-media liberal patut dituntut untuk bertanggung jawab atas terjadinya ketidak seimbangan pandangan masyarakat tentang konflik Israel-Palestina. Kita dapat saksikan The Telegraph misalnya, yang memberitakan dengan proporsi yang tidak adil atas konflik ini.

Hari ini, kita menyaksikan wajah sejati dari apa yang dianggap sebagai kemunafikan imperialis Barat dalam mendukung “hak mempertahankan diri” oleh Israel. Terlihat seolah-olah Palestina digambarkan sebagai pelaku dalam berbagai media, sementara Israel dianggap sebagai korban yang berhak mempertahankan diri. Ironisnya, di tengah pertarungan ini, kita menyaksikan dua kekuatan yang sangat tidak seimbang: negara Israel, yang memiliki kekuatan militer yang kuat, berhadapan dengan rakyat Palestina yang kebanyakan tidak memiliki senjata apapun. Semua ini tercermin dalam narasi media-media yang bersimpati pada pandangan imperialis.

Untuk saat ini, konflik Israel-Palestina menjadi problematika yang sangat serius. Kita perlu mengajukan pertanyaan pada saat ini, mengapa semua ini terjadi?

Selama seratus tahun terakhir, Timur Tengah telah menjadi arena sentral bagi berbagai pertandingan menentukan antara kekuatan imperialis dunia. Alasan pentingnya kawasan ini, yang sebelumnya dianggap sebagai wilayah sekunder hingga akhir abad ke-19, sebagian besar dikaitkan dengan kekayaan sumber daya alam yang tersembunyi di bawah permukaan Timur Tengah, terutama cadangan minyak utama dunia. Sumber daya minyak ini telah menjadikan kawasan ini sangat strategis dalam geopolitik global. Palestina, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Timur Tengah, telah menjadi pusat perhatian dalam ketegangan regional ini. Hal ini disebabkan oleh sejumlah alasan geo-politik dan sejarah yang meliputi konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Konflik ini, dengan akar-akar sejarah yang dalam dan implikasi politik yang kompleks, telah menciptakan ketegangan yang berlanjut dan memengaruhi dinamika geopolitik di kawasan tersebut. Timur Tengah secara luas terus menjadi salah satu wilayah yang paling diperhatikan dalam politik internasional dan ketegangan global, yang selalu memiliki dampak penting pada kepentingan dan stabilitas para Imperialis.

Sebelum kita menyentuh pembahasan kita ke masalah Yahudi, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara anti-semitisme dan anti-Zionisme. Kedua istilah ini seringkali disalahartikan, dan seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa kritik terhadap Zionisme diartikan sebagai anti-Semitisme. Sayap kanan Partai Buruh Inggris, misalnya, telah menggunakan klaim ini untuk menghindari kritik terhadap kebijakan Israel dan bahkan untuk menghapus pengaruh Kiri dalam partai tersebut. Namun, sebagian besar kaum revolusioner memahami bahwa kedua istilah ini berbeda secara mendasar. Anti-semitisme adalah bentuk rasisme yang menargetkan individu karena agama Yahudi yang mereka anut, bahasa Yiddish yang digunakan, budaya mereka, dan dalam praktiknya, ini adalah bentuk diskriminasi berbasis identitas. Sebaliknya, anti-Zionisme adalah pandangan politik yang tidak melibatkan penentangan terhadap individu Yahudi, melainkan penentangan terhadap kebijakan negara Israel saat ini, yang dianggap melakukan diskriminasi terhadap rakyat Palestina. Oleh karena itu, sangat krusial untuk membedakan antara kritik terhadap politik Israel dan sikap anti-Semitisme yang merugikan individu berdasarkan identitas mereka.

Permasalahan di tanah Transyordania Barat terkait dengan sejarah imigrasi Yahudi ke Palestina yang sangat berkaitan dengan munculnya gerakan Zionis pada akhir abad ke-19. Sebelum itu, populasi Yahudi asli di Palestina hanya berjumlah beberapa ribu orang, dan sebagian besar dari mereka tinggal di perkotaan. Kehadiran Yahudi di wilayah ini telah menciptakan banyak sekali isu kompleks, termasuk hak tanah dan nasib penduduk asli Palestina. Kedatangan imigran Yahudi di bawah bendera gerakan Zionis telah memicu ketegangan dan konflik dengan penduduk asli Arab di wilayah tersebut. Ini mengilhami perdebatan yang mendalam tentang hak-hak tanah, status politik, dan perasaan nasionalisme di antara dua kelompok ini. Sejarah imigrasi Yahudi ke Palestina adalah salah satu aspek kunci dari konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina, dan memahaminya adalah penting dalam rangka untuk mencari solusi yang berkelanjutan untuk mengakhiri ketegangan di kawasan ini.

Pada tahun 1881, terjadi titik balik yang signifikan dalam sejarah Yahudi dengan munculnya gelombang pogrom yang diselenggarakan di Kekaisaran Rusia oleh polisi rahasia terhadap minoritas Yahudi. Pogrom-pogrom ini terpicu oleh keyakinan bahwa komunitas Yahudi bertanggung jawab atas pembunuhan Tsar Alexander II. Massa yang marah, sangat sering dihasut oleh provokator bayaran. Massa yang terhasut menyerbu lingkungan Yahudi, melakukan penjarahan, dan menyerang penduduk. Akibatnya, ratusan ribu orang Yahudi diusir dari Rusia dan Ukraina, mencoba menghindari kampanye teror yang mencakup pembunuhan, pemukulan, pemerkosaan, hukuman mati tanpa pengadilan, serta penghancuran mata pencaharian dan harta benda mereka.

Gelombang pogrom yang lebih besar terjadi dalam periode berikutnya, terutama pada tahun 1903–1906, dan mencapai puncaknya selama tahun 1917 dan 1921 di Rusia. Pogrom-pogrom ini menjadi lebih intens selama masa perang sipil yang melibatkan pasukan Putih yang melawan pemerintahan Bolshevik selama periode revolusi Rusia. Peristiwa ini menyebabkan tindakan kekerasan yang sangat brutal terhadap komunitas Yahudi di seluruh Kekaisaran Rusia. Masyarakat Yahudi menjadi sasaran serangan, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, pengusiran, dan pemusnahan harta benda. Gelombang pogrom ini memunculkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa dan membuat banyak Yahudi melarikan diri dari wilayah tersebut, mencari perlindungan di luar negeri. Pogrom-pogrom ini bukan hanya peristiwa bersejarah yang penting dalam sejarah Yahudi, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam pada sejarah Rusia dan peristiwa penting dalam konteks perang sipil dan revolusi yang mengguncang negara tersebut.

Pada akhir abad ke-19, terjadi peristiwa yang mengejutkan dengan dampak besar. Pada tahun 1894–1895, Alfred Dreyfus, seorang perwira Yahudi dalam angkatan bersenjata Perancis, diadili dan dihukum karena tuduhan pengkhianatan yang sangat kontroversial. Persidangan Dreyfus ini memicu gelombang anti-Semitisme yang makin kuat di Prancis. Keputusan hukum yang kontroversial ini menyebabkan ketidaksetujuan publik dan perselisihan yang memecah belah masyarakat Prancis. Kasus Dreyfus menjadi salah satu contoh terkenal tentang bagaimana anti-Semitisme bisa memengaruhi sistem peradilan dan pemerintahan. Hal ini menjadi sorotan internasional. Akhirnya, pada tahun 1906, Dreyfus diberi pengampunan setelah bukti palsu dalam kasusnya terungkap, dan mengakhiri salah satu episode terpenting dalam sejarah anti-Semitisme di Prancis.

Namun, permasalahan anti-Semitisme tidak berhenti di situ saja. “Skandal Dreyfus” memainkan peran sentral dalam pergeseran intelektual borjuis Yahudi kosmopolitan menuju gerakan Zionisme. Faktanya, peristiwa ini mengilhami Theodor Herzl (1860–1904), seorang tokoh yang memainkan peran kunci dalam perkembangan Zionisme. Herzl menulis “The Jewish State”, yang kemudian menjadi manifesto politik gerakan Zionisme, setelah menyaksikan peristiwa persidangan Dreyfus. Herzl menjadi penyelenggara utama dan teoretikus utama gerakan Zionis, dan dia dengan gigih mengembangkannya sebagai kekuatan internasional. Dia merancang taktik untuk mengorganisir emigrasi massal orang Yahudi dari Eropa ke Palestina, dengan tujuan untuk menciptakan negara Yahudi di tanah tersebut.

Theodor Herzl juga mencapai kesimpulan bahwa meningkatnya kecenderungan anti-Semitisme di Eropa bisa menjadi sebagai sebuah dorongan potensial untuk proyek Zionisme. Baginya, ini menjadi cara untuk memberikan tekanan pada apa yang dia pandang sebagai kelambanan komunitas Yahudi sekuler. Herzl merasa bahwa dengan semakin kuatnya anti-Semitisme di Eropa, itu bisa memotivasi lebih banyak orang Yahudi untuk mendukung ide Zionisme, yaitu pemulangan ke tanah air Yahudi di Palestina. Dia percaya bahwa Zionisme adalah solusi untuk melindungi hak dan keamanan kaum Yahudi di dunia yang semakin anti-Semitis.

Sejak awal, proyek Zionis bergantung pada perlindungan kekuatan imperialis utama sebagai jaminan keberhasilannya. Ini berarti bahwa gerakan Zionis mencari dukungan dan pengakuan dari negara-negara imperialis besar, terutama di Eropa, untuk mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina. Proyek politik Zionis didasarkan pada strategi lobbi untuk meyakinkan para pemimpin negara dan menteri Eropa, meskipun seringkali mereka memiliki pandangan anti-Semitik, bahwa emigrasi orang Yahudi ke Palestina adalah solusi yang saling menguntungkan. Mereka berusaha meyakinkan bahwa emigrasi ini merupakan peluang untuk mengatasi masalah diskriminasi yang dihadapi oleh kaum Yahudi. Selain itu, mereka juga berargumen bahwa mendirikan negara Yahudi di Palestina dapat memberikan manfaat bagi negara-negara besar Eropa. Datangnya Yahudi ke tanah Asia merupakan suatu “pos terdepan peradaban Eropa melawan barbarisme Asia”.

Theodor Herzl memang melakukan upaya untuk meyakinkan pemerintah Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah) bahwa imigrasi Yahudi ke Palestina hanya akan memberikan manfaat material bagi Kesultanan, tidak dengan hal lainnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh dukungan dan kepatuhan yang diperlukan dari pemerintah Ottoman. Namun, secara pribadi, Herzl menyadari bahwa realisasi negara Yahudi di Palestina akan memerlukan pengambilalihan dan pengusiran warga Palestina yang sudah ada di sana. Herzl pernah menulis dalam buku hariannya pada tahun 1895 (dikutip oleh B. Morris, Righteous Victims) sebagai berikut :

“Kita harus mengambil alih (Palestina) dengan hati-hati. […] Kita akan mencoba memberi semangat kepada masyarakat yang tidak punya uang untuk melintasi perbatasan dengan menyediakan lapangan kerja bagi mereka di negara-negara transit, sambil menolak memberikan pekerjaan apa pun kepada mereka di negara kita. […] Baik proses pengambilalihan maupun pemindahan penduduk miskin harus dilakukan secara diam-diam dan hati-hati.”

Realisasi utopia Zionis yang reaksioner telah mengubah Palestina menjadi medan pertempuran yang menyebabkan penderitaan yang tak terhindarkan bagi rakyat Palestina, serta bagi para pemukim Yahudi yang terlibat dalam konflik tersebut. Konsekuensi dari gerakan Zionis yang berakar pada saat itu masih memengaruhi situasi hingga saat ini dan menjadi inti dari konflik Israel-Palestina yang kompleks dan berlarut-larut. Pada awal abad ke-20, gerakan Zionis masih merupakan representasi minoritas kecil, terbatas pada lingkaran kecil intelektual dan kalangan borjuis Yahudi dan borjuis kecil. Namun, hal ini berubah ketika dibacakannya Deklarasi Balfour.

Para ahli strategi imperialisme Inggris pada saat itu tertarik pada proyek Zionisme karena mereka melihat potensi untuk menggunakan gerakan Zionis sebagai alat untuk mewujudkan tujuan Inggris di Timur Tengah, terutama setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Pada tanggal 2 November 1917, perubahan ini diwujudkan dalam surat yang ditujukan atas nama pemerintah Inggris oleh Lord Balfour kepada Lord Rothschild dan Federasi Zionis. Deklarasi Balfour ini kemudian menjadi titik awal yang signifikan dalam perjalanan menuju pendirian negara Israel dan memainkan peran penting dalam peristiwa sejarah di Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina yang masih berlanjut hingga saat ini. Deklarasi tersebut menyatakan:

“Pemerintah Yang Mulia berpandangan mendukung pendirian rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan melakukan upaya terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, dengan jelas dipahami bahwa tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan kepentingan sipil dan agama. Hak komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain.”

Klausul bawahan dalam Deklarasi Balfour dengan jelas menunjukkan bahwa bahkan pada saat itu, kaum imperialis Inggris memiliki pemahaman yang jelas tentang implikasi dari dukungan mereka terhadap proyek Zionisme. Dalam konteks basis kapitalis, yang disebut sebagai “solusi” terhadap penindasan dan diskriminasi yang dialami orang-orang Yahudi, yang pada dasarnya adalah tindakan untuk memberikan mereka tanah air di Palestina, segera memunculkan konsekuensi serius yang melibatkan kehancuran “masalah Palestina”. Dengan pendekatan yang mendahului zaman, kebijakan ini memicu konflik yang berlarut-larut di Timur Tengah, dan tentunya menciptakan bekas yang terus membesar hingga saat ini. Ini menggambarkan bagaimana peran imperialisme saat itu dalam mendukung gerakan Zionis dan upaya pendirian negara Israel turut berkontribusi pada dinamika konflik yang rumit di wilayah tersebut.

Pada tahun 1923, seorang pemimpin Zionis sayap kanan reaksioner, Vladimir Jabotinsky, merilis manifesto politiknya yang terkenal, “The Iron Wall”. Dalam manifesto ini, Jabotinsky mengakui pentingnya Deklarasi Balfour dan memandang bahwa untuk mencapai tujuan Zionis di Palestina, perlu ada sebuah “dinding besi bayonet Yahudi” yang kuat, serta “bayonet Inggris” untuk memaksakan dominasi. Dia meyakini bahwa langkah-langkah tegas, termasuk penggunaan kekuatan militer, diperlukan untuk menciptakan kehadiran kuat Yahudi di Palestina, yang dia pandang sebagai bagian dari pendekatan yang realistis untuk mencapai tujuan Zionis. Jabotinsky dengan jelas memahami bahwa kelangsungan proyek Zionis bergantung pada dukungan aktif dan perlindungan imperialisme Inggris.

Dukungan resmi Inggris terhadap gerakan Zionis menjadi kenyataan setelah runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah dan penetapan mandat Inggris atas Palestina. Di bawah pemerintahan Inggris, Zionis diberi izin untuk mengembangkan berbagai institusi semi-negara, yang menjadi elemen penting dalam langkah menuju pendirian negara Israel. Badan Yahudi, sebagai pemerintahan embrio, mulai berfungsi. Badan ini mengurus administrasi warga Yahudi, mengkoordinasikan berbagai aktivitas Zionis, dan memainkan peran penting dalam proses pembentukan infrastruktur negara. Dana Nasional Yahudi digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dana, membeli tanah, dan mendukung berbagai proyek Zionis di Palestina. Yang paling penting, Dana Nasional Yahudi juga membiayai Milisi Yahudi yang reaksioner, seperti Haganah, yang menjadi dasar bagi angkatan bersenjata Israel yang akan datang. Tindakan yang dilakukan atas kewenangan otoritas Inggris ini adalah langkah penting dalam pengembangan elemen-elemen inti dari apa yang akan menjadi negara Israel, dengan dukungan dan mandat Inggris sebagai faktor penentu dalam proses ini.

Pada saat pecahnya Perang Dunia Pertama, jumlah orang Yahudi yang tinggal di Palestina masih terbatas, hanya sekitar 60.000 orang. Terlebih lagi, jumlah tanah yang telah dibeli oleh gerakan Zionis hingga tahun 1908 hanya mewakili sekitar 1,5 persen dari total tanah yang tersedia di wilayah tersebut. Namun, situasinya berubah pada tahun 1920-an, sebagian besar sebagai akibat dari Mandat Inggris atas Palestina yang memfasilitasi aliran besar pemukim baru. Kebijakan Inggris ini membuka pintu bagi banyak orang Yahudi yang datang dari berbagai negara Eropa untuk memulai hidup baru di Palestina, yang pada akhirnya akan mempengaruhi demografi wilayah tersebut secara signifikan.

Konflik yang semakin memburuk antara warga Palestina dan pemukim Yahudi mencapai puncaknya dalam kerusuhan di Jaffa pada Mei 1921, yang menyebabkan kematian puluhan orang di kedua sisi konflik. Selanjutnya, pada Agustus 1929, ada perubahan yang tragis ketika pemberontakan rakyat Palestina melawan pendudukan Inggris berubah menjadi pertumpahan darah. Serangkaian serangan dilancarkan terhadap komunitas Yahudi, termasuk serangan brutal terhadap komunitas kecil Yahudi Palestina di Hebron, sebuah komunitas yang telah berakar sejak abad ke-16. Akibat serangan tersebut, 66 orang Yahudi tewas, meskipun banyak warga Palestina yang berusaha melindungi mereka dengan menyembunyikan mereka di rumah mereka. Komunitas Yahudi di Hebron hampir dimusnahkan. Upaya pertahanan dari pihak Haganah berhasil menghalau serangan-serangan lainnya. Tetapi tragisnya, jumlah korban jiwa dalam apa yang dikenal sebagai “hari berdarah” pada bulan Agustus 1929 adalah sangat berat, dengan 133 orang Yahudi dan 116 orang Palestina yang tewas dalam kekerasan tersebut.

Hal ini memberikan dorongan yang menentukan bagi konsolidasi milisi Yahudi, Haganah, yang semakin berkolaborasi dengan penjajah Inggris. Setelah konsolidasi tersebut, milisi Yahudi yang berkembang pesat di Palestina pada awal abad ke-20, terutama terwujud dalam bentuk pengorganisasian dan pertumbuhan jumlah anggotanya. Haganah menjadi semakin terstruktur dan efisien dalam merencanakan, melatih, serta melaksanakan operasi militer dan keamanan. Mereka juga mulai menerima dukungan logistik dan pembiayaan yang lebih besar, termasuk dari Dana Nasional Yahudi. Kolaborasi antara Haganah dan pemerintah Inggris adalah hasil dari berbagai faktor. Pertama, Inggris memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas di wilayah Palestina yang ditempati oleh sejumlah pemukim Yahudi. Kedua, Haganah adalah milisi yang terorganisasi dengan baik yang dapat membantu mempertahankan ketertiban dan keamanan dalam lingkungan yang semakin tegang. Kolaborasi ini mengakibatkan Haganah, yang awalnya tumbuh sebagai milisi pertahanan diri komunitas Yahudi, menjadi milisi semi-resmi yang bekerja sama dengan pemerintah Inggris dalam menjaga keamanan dan mempertahankan ketertiban. Ini juga memungkinkan Haganah untuk mendapatkan lebih banyak dukungan logistik dan persenjataan yang diperlukan untuk melindungi komunitas Yahudi di Palestina. Namun, kolaborasi ini juga menjadi sumber kontroversi dan konflik dalam perjuangan kemerdekaan Israel, terutama dengan kelompok-kelompok yang lebih radikal seperti Irgun dan Lehi yang menolak pendekatan kolaboratif Haganah.

Revolusi dan Bangsa Yahudi

Pada tahun 1940, Leon Trotsky, seorang figur komunis asal Rusia yang tergabung dalam Partai Bolshevik di saat Revolusi Oktober meletus, mengeluarkan peringatan yang kuat bahwa upaya untuk menyelesaikan “masalah Yahudi” di Eropa melalui perampasan hak milik orang-orang Palestina akan menjadi “perangkap berdarah”. Komentar Trotsky juga merujuk pada kontroversi dan konflik yang terus berlanjut dalam konflik di tanah Transyordania Barat pada saat itu. Pernyataan ini menjadi relevan hingga saat ini. Saat itu, situasi politik di Uni Soviet juga memengaruhi pandangan Trotsky. Dia telah mengalami ketegangan dengan rezim Stalin dan dipaksa ke pengasingan. Ketidaksetujuan antara Trotsky dan Stalin memperlihatkan sebuah perpecahan yang terjadi dalam gerakan komunis internasional yang juga memengaruhi pandangan mereka tentang isu Zionisme dan konflik Israel-Palestina. Pandangan Trotsky menyoroti dilema yang muncul ketika upaya menyelesaikan masalah Yahudi terjebak dalam batas-batas sistem kapitalisme, yang akhirnya dapat mengakibatkan ketegangan dan perpecahan, bukan pembebasan sejati.

Hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa dalam sejarah, revolusi-revolusi telah memainkan peran penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh komunitas Yahudi. Sejarah mencatat bahwa Revolusi Prancis pada tahun 1789 mengakhiri diskriminasi terhadap Yahudi di Prancis. Begitu pula, Revolusi Rusia pada tahun 1917 juga mengakhiri penindasan yang dialami oleh Yahudi di bawah kekaisaran Tsar. Tidaklah kebetulan bahwa banyak orang Yahudi di bawah kekaisaran Tsar pada saat itu sebenarnya tidak mempertimbangkan penciptaan tanah air di Israel sebagai solusi terhadap masalah mereka. Sebaliknya, mereka banyak yang bergabung dengan gerakan sosialis dalam jumlah besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa di dalam populasi Yahudi terdapat tingkat radikalisasi sayap kiri yang lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya. Ini menunjukkan bahwa dalam pengalaman historis, perubahan sosial dan politik melalui revolusi telah membawa perubahan positif bagi komunitas Yahudi dan mengakhiri diskriminasi yang mereka alami.

Tidak dapat diabaikan bahwa sejumlah tokoh yang memainkan peran sentral dalam Revolusi Bolshevik di Rusia, seperti Leon Trotsky, memiliki latar belakang Yahudi atau merupakan keturunan Yahudi. Trotsky sendiri pernah menyatakan, “Saya bukan seorang Yahudi, saya adalah seorang internasionalis”. Hal ini menggarisbawahi orientasinya yang lebih kepada ideologi ketimbang identitas etnisnya. Pada konteks ini, ada fakta menarik yang muncul. Pada tahun 1919, dalam sebuah pidato yang mencolok, pemimpin Bolshevik lainnya, yakni Vladimir Lenin, mengatakan bahwa musuh mereka bukanlah orang Yahudi, melainkan kelas kapitalis di seluruh negeri. Lenin menekankan konflik kelas dalam revolusi tersebut, menunjukkan bahwa fokusnya adalah pada ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang ada, bukan pada asal-usul etnis atau agama individu. Pernyataan Lenin ini menggambarkan bagaimana Partai Bolshevik berjuang untuk perubahan struktural dalam masyarakat, di mana faktor kelas menjadi fokus utama dalam pemahaman musuh mereka.

30 Tahun Setelah Perjanjian Oslo

Salah satu kesalahan besar dalam perjuangan kemerdekaan Palestina terletak pada otoritas Palestina. Palestine Liberation Organization atau Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan para pemimpin nasionalis borjuis kecilnya mengambil langkah-langkah yang fatal dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Mereka telah menggunakan tindakan perjuangan bersenjata melawan Israel Mereka yakin bahwa metode ini akan membawa kemerdekaan bagi Palestina. Namun, kenyataannya adalah perjuangan bersenjata yang mereka lakukan tidak lain adalah tindakan terorisme individual. Bentuk-bentuknya seperti serangan bom, penjarahan, dan bahkan pembajakan pesawat. Ini sama sekali tidak dapat melemahkan Israel. Sebaliknya, tindakan bersenjata seperti ini justru cenderung memperkuat posisi Israel. Perjuangan bersenjata terhadap Israel juga dapat berdampak negatif dengan meningkatkan keyakinan rakyat Israel bahwa mereka selalu dalam bahaya, seperti yang terjadi pada masa Ramses II. Dampaknya, rakyat Israel cenderung semakin mendukung otoritas mereka dalam upaya melawan “teroris Palestina.” Terorisme individual akan menjadikan rakyat di pihak musuh kembali ke pelukan kaum reaksioner. Padahal, apabila rakyat Israel tidak mendukung pemerintahannya, upaya perjuangan kemerdekaan Palestina akan menjadi lebih mudah.

Rakyat Palestina telah berulang kali menunjukkan kapasitas revolusioner mereka. Salah satu contohnya adalah ketika terjadi Intifada pertama pada tahun 1987. Intifada, yang berarti aksi pemberontakan dalam bahasa Arab, merupakan aksi massa yang diluncurkan oleh kaum muda Palestina untuk menentang penjajahan Israel. Namun, pada saat itu, pemimpin PLO, Yasser Arafat, hanya diam tanpa memberikan arahan yang terstruktur untuk memimpin massa dalam mencapai kemenangannya. Dalam peristiwa tersebut, militer Israel memiliki senjata yang lengkap, sedangkan massa hanya bersenjatakan batu dan kayu. Namun, aksi massa ini tetap berlangsung dan bahkan membuahkan hasil yang signifikan dalam memajukan perjuangan Rakyat Palestina. Hal ini dapat diraih meskipun Arafat tidak memberikan kontribusi sama sekali dalam upaya perjuangan tersebut selama bertahun-tahun.

Intifada menghasilkan konsesi-konsesi yang ditawarkan oleh Israel, yang tercantum dalam Perjanjian Oslo. Konsesi-konsesi ini diberikan oleh Israel sebagai respons atas tekanan internasional yang meningkat akibat perlakuan mereka terhadap rakyat Palestina. Meskipun demikian, peran Arafat dalam perjuangan ini tidak ada dan bukan dia yang memimpin langkah-langkah untuk mendapatkan konsesi-konsesi tersebut. Selain tekanan internasional, dinamika politik global yang berubah turut mempengaruhi pemberian konsesi oleh Israel. Pasca-runtuhnya Uni Soviet, AS menjadi dominan di panggung dunia, sehingga AS tidak lagi bergantung sepenuhnya pada Israel di Timur Tengah. AS memiliki kepentingan di wilayah tersebut yang melibatkan hubungan diplomatik dengan rezim-rezim seperti Arab Saudi. Oleh karena itu, AS perlu memaksa Israel untuk terlibat dalam diplomasi dengan Palestina agar stabilitas di Timur Tengah terjaga. Israel pada akhirnya setuju untuk mengakui PLO sebagai otoritas sah Palestina sebagai bagian dari konsesi-konsesi tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa pada saat itu, Arafat sangat senang dengan pencapaian ini dan menerima kedudukan istimewa sebagai pemegang otoritas sah Palestina. Justru, pada awalnya, Arafat yang malah menghambat proses menuju kemerdekaan Palestina. Dia lebih pantas disebut sebagai pengkhianat terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Penting untuk dicatat bahwa saat ini juga merupakan peringatan 30 tahun perjanjian Oslo tahun 1993, yang ditandatangani antara pemimpin PLO, Yasser Arafat, dan perdana menteri Israel, Yitzhak Rabin. Perjanjian ini ditandai oleh jabat tangan mereka di Gedung Putih. Pemberian hadiah Nobel Perdamaian merupakan simbol dari upaya menuju apa yang disebut oleh imperialis sebagai “Tatanan Dunia Baru”. Menurut mereka, ini mencakup konsep perdamaian dan kemakmuran yang dipromosikan oleh AS dan kaum imperialisme setelah runtuhnya Uni Soviet. Kita perlu berhati-hati dalam menilai Perjanjian Oslo. Banyak orang yang masih menganggap bahwa perjanjian ini sebagai tonggak penting dalam upaya mendamaikan konflik Israel-Palestina. Tidak ada jaminan kedamaian di bawah kuasa imperialisme! Kita perlu melihat kenyataannya, bahwa perjanjian ini juga menghadapi ketegangan yang berkelanjutan serta belum mencapai penyelesaian yang berkelanjutan dalam konflik tersebut.

Jika seseorang mencoba merayakan tiga puluh tahun perjanjian Oslo, mereka mungkin tidak akan merasa gembira. Perjanjian ini melahirkan Palestinian Authority atau Otoritas Palestina (PA) sebagai entitas otonom yang mengurusi sebagian besar wilayah Palestina yang ditempati oleh Israel. Dalam konsesi-konsesi yang terkandung dalam Perjanjian Oslo, secara de facto, PLO diakui oleh Israel sebagai rezim yang sah atas teritori Palestina. Namun, sebagai bagian dari perjanjian ini, PLO berkomitmen untuk mengakhiri perlawanan bersenjata dan berjanji untuk membantu Israel. Di sisi lain, PLO berjanji secara implisit akan membantu Israel dalam memberi keamanan dan ketentraman untuknya. Namun, dengan syarat mereka mampu mengawasi rakyatnya sendiri atas nama Israel. Kesepakatan ini dihadapkan oleh berbagai kendala serius sepanjang pasca pendeklarasiannya. Kaum Marxis sejati melihat perjanjian ini tidaklah menghasilkan solusi yang berkelanjutan untuk konflik Israel-Palestina.

Perjanjian Oslo, sebagaimana diperingatkan oleh kaum revolusioner pada masa itu, merupakan sebuah jebakan yang kejam yang diambil dengan sukarela oleh para pemimpin nasionalis borjuis kecil Palestina. Perjanjian Oslo adalah sebuah pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina. Perjanjian ini tidak hanya gagal dalam mencapai hak-hak fundamental dari rakyat Palestina, tetapi juga menjadikan situasi Palestina semakin rumit dan membingungkan. Sebagai gantinya, perjanjian ini mendorong pembagian wilayah Palestina dan terus memperkuat pengaruh Israel dalam wilayah tersebut. Meskipun menghasilkan pembentukan PA, perjanjian ini menghasilkan situasi yang sangat rumit bagi rakyat Palestina. Salah satu masalah sentral adalah bahwa Otoritas Palestina tidak memiliki kesinambungan teritorial yang jelas dalam wilayah yang ditempati oleh Israel. Wilayah Palestina terpecah menjadi 165 “pulau” yang berada di bawah pemerintahan sipil, baik secara penuh maupun sebagian, oleh Otoritas Palestina. Di sisi lain, sekitar 60% wilayah Palestina tetap berada di bawah pendudukan langsung Israel.

Israel memegang kendali atas sejumlah aspek penting dalam kehidupan rakyat Palestina. Mereka memiliki kontrol atas pasokan listrik, air, dan bahkan pasokan medis. Israel memiliki kuasa untuk memutuskan berapa banyak sumber daya yang harus disediakan untuk warga Palestina. Tindakan tersebut sangat menghambat segala kemungkinan untuk program pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat Palestina. Selain itu, Israel juga mengumpulkan pendapatan bea cukai atas nama Otoritas Palestina, namun sering sekali Israel menolak untuk mentransfer dana tersebut, hingga pada akhirnya menciptakan ketidakpastian dalam pembiayaan dan pelayanan publik di Palestina. Namun, situasi di Gaza, yang terus-menerus terkepung dan dikendalikan oleh Israel dan Mesir, menjadi jauh lebih parah. Di wilayah ini, di mana penduduknya hidup dalam kondisi terbatas dan seringkali sulit. Sekitar 53% dari mereka berjuang untuk bertahan di bawah garis kemiskinan. Serangan dan pemboman yang dilakukan oleh Israel secara berkala menghancurkan infrastruktur yang sudah terbatas dan menghambat upaya perbaikan. Kesulitan yang dihadapi oleh rakyat Palestina, terutama di Gaza, menciptakan kondisi yang sangat amat sulit bagi mereka, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Situasi ekonomi Otoritas Palestina semakin parah, hingga mencapai titik bangkrut. Pemogokan yang dilakukan oleh berbagai kelompok pekerja, termasuk sekitar 20.000 guru, terutama terkait dengan tuntutan upah yang belum dibayar, telah melumpuhkan layanan publik yang sudah terbatas di wilayah tersebut. Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana kelangkaan sumber daya dan berbagai masalah ekonomi hanya memperburuk korupsi dan penyalahgunaan sumber daya yang tersedia. Kesulitan ekonomi ini semakin menghambat kemampuan Otoritas Palestina untuk menyediakan layanan dasar dan mendukung rakyat Palestina yang dipaksa terus berjuang untuk bertahan dalam kondisi yang semakin sulit.

Gerakan Pemukim Yahudi

Saat ini, Otoritas Palestina berada dalam kondisi yang semakin terdesak, terutama karena perluasan pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang terus berlanjut. Saat perjanjian Oslo ditandatangani, jumlah pemukim Yahudi di wilayah tersebut berjumlah sekitar 250.000 orang, termasuk Yerusalem Timur. Namun, pada Februari 2023, jumlah mereka telah melonjak menjadi lebih dari 500.000 pemukim di Tepi Barat, dengan tambahan 220.000 di Yerusalem Timur. Setiap ekspansi pemukiman baru membawa lebih banyak tentara Israel yang dikerahkan untuk melindungi para pemukim Yahudi, sementara ratusan pos pemeriksaan yang didirikan mempersulit kehidupan sehari-hari warga Palestina. Infrastruktur baru dibangun khusus untuk mendukung para pemukim, memberikan akses terhadap air yang melimpah dengan harga lebih rendah, sementara warga Palestina sering kali menghadapi kekurangan air. Tembok pemisah yang didirikan oleh Israel disebut untuk “mempertahankan” pemukiman ini. Di balik itu, properti milik warga Palestina yang berdekatan dengan pemukiman sering kali dihancurkan atas dasar “alasan keamanan”. Para pemukim Yahudi merasa semakin diberdayakan oleh pemerintah dalam upaya mereka untuk mengintensifkan serangan dan perluasan pemukiman mereka. Semua faktor ini menciptakan ketegangan yang semakin meningkat.

Gerakan pemukim Yahudi, seperti monster Frankenstein, telah tumbuh menjadi entitas yang berjalan sendiri. Frankenstein memiliki dampak yang signifikan dalam konflik Israel-Palestina dan konstruksi negara Israel. Contohnya adalah peristiwa pada tanggal 26 Februari ketika ratusan pemukim Yahudi menyerbu desa Palestina Huwara di Tepi Barat pada larut malam. Serangan ini mengakibatkan kematian satu orang, melukai lebih dari 100 orang, dan bahkan menyebabkan kebakaran di kota tersebut. Pemimpin pemukim seperti Smotrich, yang berfungsi sebagai “gubernur” de facto di Tepi Barat, bahkan memuji serangan tersebut. Ini menunjukkan betapa eskalatifnya situasi pada saat itu. Selain serangan oleh pemukim, IDF (Israel Defense Forces) juga telah meningkatkan kampanye pembunuhan di luar proses hukum terhadap pemuda Palestina yang berjuang melawan pendudukan. Tindakan ini mencakup penggerebekan, penembakan, eksekusi oleh pasukan komando Israel yang berpakaian preman, dan bahkan penanaman alat peledak pada kendaraan.

Pada Mei 2022, tragedi melanda saat seorang reporter terkemuka Al Jazeera yang berkebangsaan AS-Palestina, namanya Shireen Abu Akleh. Beliau tewas tertembak di kepala oleh penembak jitu Israel ketika sedang meliput peristiwa di kamp pengungsi Jenin. Peristiwa ini memicu duka yang mendalam di kalangan warga Palestina. Saat pemakaman Abu Akleh yang dihadiri oleh ribuan warga Palestina, petugas polisi Israel secara provokatif menyerang orang-orang yang membawa peti matinya dari rumah sakit di Yerusalem Timur. Bahkan rumah sakit itu sendiri diserbu oleh pasukan keamanan Israel, yang menginjak-injak pasien dan melemparkan granat kejut, yang pada akhirnya melukai beberapa staf medis yang berusaha memberikan pelayanan medis yang sangat diperlukan.

Contoh yang telah disebutkan hanya merupakan bagian kecil dari pola penindasan sistemik dan brutal yang dilakukan oleh pasukan Israel terhadap warga Palestina. Penghinaan sehari-hari yang mereka alami mencakup penyitaan tanda pengenal di pos pemeriksaan, pembunuhan terhadap teman dan anggota keluarga pejuang Palestina, serta tindakan kejam lainnya. Penahanan tanpa batas waktu secara massal juga sering terjadi dan seringkali berlangsung bertahun-tahun tanpa pengadilan serta tanpa dasar hukum. Semua tindakan ini memang semakin menciptakan penderitaan bagi individu Palestina, tetapi di sisi lain juga memperkuat tekad generasi muda Palestina untuk melawan pendudukan yang tampaknya tidak pernah berakhir. Tanpa henti, rakyat Palestina akan terus berjuang untuk hak-hak mereka demi mempertahankan martabat mereka di tengah okupasi yang terus-menerus.

Meningkatnya Perlawanan Palestina

Para pemukim Yahudi fanatik telah menjadi pasukan kejutan yang bertekad untuk mengambil alih tanah yang mereka anggap sebagai tanah yang diberikan kepada mereka atas hak Tuhan. Mereka mewakili kelompok ekstrim kanan Zionis yang memainkan peran kunci dalam perubahan dinamika konflik di sana. Di sisi lain, pemuda Palestina menunjukkan tekad dan ketahanan yang luar biasa dalam menghadapi penindasan. Mereka tidak akan menyerah atau terintimidasi, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawa mereka. Sayangnya, bagi banyak dari mereka, tampaknya tidak ada pilihan lain selain berjuang, karena kepemimpinan Otoritas Palestina memihak pada kolonialis dan imperialis. Sudah tidak ada harapan lagi bagi rakyat Palestina terhadap otoritasnya sendiri.

Otoritas Palestina telah meningkatkan penindasan terhadap perlawanan dengan meningkatkan kerja sama pengawasan dengan Israel dan melatih 5.000 petugas keamanan PA di Yordania. Akibatnya, sinisme terhadap Otoritas Palestina telah meluas, dan hasil jajak pendapat baru-baru ini mencerminkan kekecewaan besar di kalangan warga Palestina. Dalam jajak pendapat tersebut, 52% warga Palestina menyatakan bahwa keruntuhan atau pembubaran Otoritas Palestina akan lebih sesuai dengan kepentingan mereka. Kegagalan pimpinan PLO dan Fatah menjadi sangat nyata selama gerakan besar-besaran menentang pemboman Gaza pada tahun 2021. Gerakan ini berujung pada pemogokan umum Palestina pada 18 Mei dan disebut sebagai Pemberontakan Persatuan. Pemberontakan ini melibatkan perjuangan terpadu warga Palestina di Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, serta warga Palestina di Israel.

Selama beberapa tahun terakhir, Israel telah melakukan penindasan intensif terhadap rakyat Palestina secara makin brutal. Tercatat bahwa lebih dari 7000 penangkapan telah dilakukan oleh Israel hanya pada tahun 2022. Terutama di kota Jenin, situasi semakin mencekam dalam 27 bulan terakhir, di mana 106 warga Palestina tewas, dari total 136 korban jiwa selama satu dekade terakhir. Di tengah penindasan ini, sebuah gerakan pertahanan bersenjata terpadu mulai tumbuh. Gerakan yang berasal dari kamp-kamp pengungsi yang dipimpin oleh kaum muda tanpa memandang afiliasi politik mereka. Gerakan ini bertujuan untuk melawan pendudukan Israel dan melindungi hak-hak mereka serta tanah air mereka yang terus terancam. Penting untuk dicatat bahwa PLO tidak lagi memainkan peran sentral dalam dinamika ini. Sebaliknya, para pemuda telah menjadi pemimpin dalam perjuangan yang semakin memanas dan menekankan kepentingan mempertahankan hak-hak Palestina dalam situasi yang semakin sulit.

Revolusi Sosialis untuk Palestina!

Peristiwa yang kita saksikan saat ini di Palestina adalah krisis terparah yang pernah dihadapi oleh bangsa Palestina dalam beberapa dekade terakhir. Ini adalah konsekuensi dari penindasan yang semakin meningkat yang dilakukan oleh Israel yang telah mengakibatkan ketegangan yang merajalela dan memuncak dalam bentrokan brutal antara pasukan Israel dan warga Palestina. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana Israel telah menjadi sekutu yang sangat diandalkan bagi Amerika. Israel menjadi pilar utama reaksi imperialis di Timur Tengah. AS telah mendukung Israel secara politik, militer, dan ekonomi selama bertahun-tahun karena Israel dianggap AS sebagai sekutu strategis yang dapat memajukan kepentingan AS di wilayah tersebut. Alasan di balik ambisi imperialis AS untuk mendukung Israel dan bahkan menganeksasi daerah jajahan adalah kompleks. Namun, sebagian besar terkait dengan kontrol atas sumber daya, stabilitas geopolitik, dan kebijakan regional di Timur Tengah. Melalui dukungan yang kuat terhadap Israel, AS mencoba untuk menjaga pengaruhnya di wilayah tersebut dan melindungi kepentingan ekonomi dan politiknya.

Israel adalah sebuah negara yang didasarkan pada sistem kapitalis yang kuat tertanam. Pemerintahan Israel sangat didominasi oleh borjuasi Zionis yang selalu menjalankan kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan penindasan terhadap rakyat Palestina. Negara ini juga didukung oleh administrator borjuis kecil dari Otoritas Palestina yang sendiripun tengah menghadapi banyak masalah dan kesulitan. Israel memiliki sektor ekonomi yang kuat dan beragam, termasuk teknologi yang maju, pertanian, dan industri. Ini membuatnya menjadi negara dengan perekonomian yang maju di Timur Tengah. Selain itu, Israel adalah negara yang terkuat di Timur Tengah karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah dukungan yang kuat dari AS, baik dalam bentuk bantuan militer maupun dukungan politik. Selain itu, Israel telah mengembangkan kekuatan militer yang signifikan, termasuk pengembangan senjata nuklir yang memberinya keunggulan dalam kawasan tersebut. Selain itu, stabilitas politik dan keamanan yang dijaga dengan ketat juga telah mendukung posisinya sebagai negara terkuat di Timur Tengah. Semua faktor ini membuat Israel menjadi aktor utama dalam menjadi biang kerok permasalahan geopolitik regional. Dan yang saat ini terjadi adalah serangan massal dan brutal terhadap Palestina.

Kampanye media yang saat ini tengah berlangsung bertujuan secara jelas untuk menggambarkan Palestina sebagai pihak yang bertindak sebagai agresor dalam konflik, meskipun kenyataannya jauh dari itu. Semua negara imperialis Barat, dengan AS memegang peran utama, ikut serta dalam upaya ini untuk memutarbalikkan fakta. Penekanan ini adalah bagian umum dalam retorika konflik. Setiap negara yang terlibat dalam konflik berperang cenderung mencoba menampilkan lawannya sebagai pihak yang memulai agresi. Namun, dalam konteks konflik Israel-Palestina, perbandingan kekuatan sangat tidak seimbang. Palestina tidak memiliki akses ke senjata mematikan sebanding dengan militer Israel, yang mendapat dukungan teknologi dan militer yang canggih dari Amerika Serikat. Dalam situasi ini, label “agresor” seharusnya lebih jelas mengacu pada pihak yang memiliki kekuatan militer superior dan melakukan tindakan yang mendominasi dan menindas penduduk yang kurang bersenjata. Meskipun retorika media borjuis mencoba memutarbalikkan fakta, kita perlu sangat berhati-hati dalam memahami kenyataan yang mendasari konflik ini dan peran media dalam membentuk opini publik.

Banyak variasi sayap kanan dan kiri menunjukan sikap mereka yang negatif terhadap Palestina dalam konflik ini. Sebagian besar pemimpin reformis dalam gerakan buruh di negara-negara imperialis barat menunjukkan dukungan yang kuat terhadap kelas penguasa dan struktur kekuasaan yang ada, atau setidaknya mereka cenderung mengeluarkan seruan abstrak terhadap “perdamaian” tanpa mengatasi akar masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada. Intervensi “komunitas internasional” sering digunakan sebagai alat untuk menjaga status quo yang menguntungkan para elit. Pemimpin-pemimpin reformis ini sangat amat terikat pada sistem kapitalis yang ada dan tidak mau untuk mengambil langkah-langkah radikal untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi serta problematika kelas lainnya. Hal ini mencerminkan watak kaum reformis yang selalu lebih menjaga kenyamanan dan stabilitas status quo daripada mengusahakan perubahan struktural yang pastinya mengganggu kepentingan kelas penguasa.

Di Inggris, Keir Starmer (sosok reformis kanan sekaligus Ketua Partai Buruh Inggris) telah mengeluarkan pernyataan yang persis sama dengan pernyataan Rishi Sunak (Perdana Menteri Britania Raya), yang sepenuhnya mendukung Israel dalam konflik Palestina. Kaum Marxis harus selalu mengarahkan kritik kepada orang-orang seperti ini. Orang-orang ini harus diekspos sebagai agen kelas penguasa di setiap negara, yang akan senantiasa melindungi kepentingan elit oligarki. Penting untuk secara tegas mengekspos mereka sebagai pihak yang mendukung status quo yang merugikan rakyat Palestina. Selain itu, kita tidak boleh mengabaikan kaum reformis kiri yang seringkali terbatas pada seruan-seruan yang tidak berarti seperti seruan untuk perdamaian dan penghormatan terhadap hukum internasional. Terkadang, mereka bahkan berada sejalan dengan kaum reformis sayap kanan, sehingga wajib dilayangkan berjuta-juta kritik yang tegas terhadap pendekatan mereka yang tidak radikal dalam menghadapi masalah ini.

Saya merasa, dan Anda tentunya juga sama dengan saya, bahwa kita harus menegaskan bahwa kita mendukung tanpa syarat rakyat Palestina yang menghadapi penindasan. Mereka memiliki hak untuk membela diri, termasuk melalui perlawanan bersenjata. Kritik yang kita sampaikan harus disampaikan dengan pendekatan yang lebih positif, seperti mendukung aksi perlawanan massal, metode pemberontakan massa, pemogokan politik, atau mendorong Intifada yang lebih besar. Kita perlu mencatat bahwa beberapa kelompok, seperti Hamas, mungkin memiliki keengganan terhadap metode tersebut (perlawanan massal, dan sebagainya). Yang perlu ditekankan adalah kita harus mengekspresikan solidaritas penuh tanpa syarat terhadap rakyat Palestina. Penting juga untuk diingat bahwa tindakan terorisme individual seperti serangan roket yang ditujukan kepada warga sipil adalah tindakan yang bukannya membuahkan hasil yang efektif, namun sebaliknya, akan mendorong rakyat Israel jatuh ke pelukan kaum reaksioner.

Dalam situasi yang terpolarisasi seperti ini, konsesi apa pun terhadap propaganda imperialis mengenai “hak Israel untuk mempertahankan diri” atau melakukan diskusi mengenai apakah tindakan ini atau itu harus dikutuk berisiko dianggap sebagai pengingkaran hak warga Palestina untuk membela diri. Metode Hamas yang mereka gunakan adalah jalan buntu dan tidak akan membawa Palestina satu milimeter lebih dekat untuk mencapai pembebasan nasional. Sudah jelas bahwa saya tidak mendukung kelompok seperti Hamas atau kelompok-kelompok lainnya yang menggunakan metode yang Hamas gunakan. Apabila ada seseorang yang bertanya kepada saya secara langsung, saya harus mengklarifikasi hal ini. Namun, saya juga harus menegaskan bahwa ini bukanlah pertanyaan utama yang dipertaruhkan di sini.

Sebuah negara imperialis yang perkasa sedang menyerang negara yang jauh lebih kecil dan lemah secara militer, dan terlepas dari pemerintahan negara yang tertindas, saya akan mendukung negara tersebut melawan penindasnya. Ini adalah isu kunci yang harus diperhatikan, yaitu penindasan yang dihadapi oleh rakyat Palestina dalam konflik ini. Dalam hal ini, fokus kaum Marxis adalah pada hak rakyat Palestina untuk membela diri dan memperjuangkan hak-haknya dalam konflik yang tidak seimbang ini.

Rantai penindasan ini perlu diputus, dan ini hanya bisa terjadi sebagai bagian integral dari gerakan yang lebih luas untuk mengakhiri sistem kapitalis di wilayah Timur Tengah. Dengan perubahan fundamental seperti itu, hanya pembentukan Federasi Sosialis Timur Tengah yang dapat memberikan solusi untuk mengatasi penindasan terhadap Palestina. Dengan ekonomi yang terencana secara demokratis, kita dapat menyediakan sumber daya yang mendukung kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat di wilayah ini, mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh berbagai kelompok, dan membangun fondasi material untuk emansipasi sejati bagi bangsa Palestina, Yahudi, dan seluruh rakyat di Timur Tengah. Dengan cara ini, kita dapat mengakhiri mimpi buruk kapitalisme dan membangun dasar yang lebih adil dan berkelanjutan untuk masa depan Timur Tengah yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *